Islamic Course Center (ICC)

Selasa, 08 Desember 2009

Islamic Course Center (ICC) adalah bimbingan belajar sosial dengan biaya pendidikan yang murah - bahkan gratis jika tidak mampu - dengan berstandar nasional.


VISI :

Mencetak Pelajar yang tangguh; Cerdas dan Berakhlak !

Cerdas : Pintar Matematika, IPA (Sains), Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Akuntansi, Ekonomi, dll sehingga menjadi juara kelas, lulus Ujian Nasional, lulus perguruan tinggi, dan menjadi orang yang sukses dikemudian hari.

Berakhlak : Seimbang antara IPTEK dan IMTAQ melalui program ICC gathering, coaching, tes minat dan bakat, kajian remaja, nonton film pendidikan, ICC advice, dll sehingga tidak hanya sukses di dunia, tetapi juga sukses di akhirat.


PESERTA :

dari tingkat kelas IV, V, VI SD, VII, VIII, IX SMP s.d. X, XI, dan XII SMA/kejuruan


LOKASI :

Masjid Nurul Badar (lt. 3) dan Masjid Al Istiqomah (lt. 2)
PEJATEN BARAT PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN

KONTAK :
+6285697466741
+622194576237
islamic_course_center@yahoo.com

Jika Cita-Cita dan Mimpi Harus Berganti

Sebuah pengalaman akan membuat sebagian manusia berfikir seperti mendapatkan apa yang telah ia cari, namun apa yang ditemukan belum tentu sesuai dan akhirnya harus berbelok dari rencana perjalanan dalam menapaki langkah perjalanan hidup ini.

Kisah yang tak perlu dipahami namun dirasakan, itulah kisah tentang manusia yang hanya mampu mengikuti di mana kaki ini berpijak dalam kerumitan sebuah waktu.

Kisah yang dialami merupakan suatu hal yang didapat dengan apa yang telah terjadi, banyak kisah yang begitu romantis ketika diceritakan, ada yang begitu terharu bahkan ada yang tak harus di ceritakan. mungkin kisah adalah sebuah perjalanan hidup manusia, yang memang harus dilalui bahkan diikuti bukan untuk dijauhi. Layaknya mimpi yang harus berganti.
(Jakarta, 1 Juli 2009-di temaram sore)

Sore tadi saya berkomunikasi via SMS(bahasanya yang baik apa ya?) dengan salah seorang saudari isi komunikasi kami intinya adalah tentang pembuatan peta hidup. Awalnya dia meminta saya untuk memforward SMSnya ke yang lain tentang permintaan(kewajiban?) untuk membuat pemetaan hidup lima tahun ke depan, kemudian saya bertanya “apakah banyak yang tidak atau belum membuat peta hidupnya ?”, kemudian dia menjawab “Ya, belum, khususnya pendetailan terhadap peta hidup itu, semakin sedikit lagi” jawabnya, “anda termasuk jangan-jangan ?”lanjutnya, menyelidiki. Saya hanya tertawa saja mendapati pernyataan sekaligus pertanyaan tersebut, pertama, saya pribadi sejak membaca buku Seven Habist of Highly Effective Teens -kira-kira saat kelas dua SMA saya membaca buku tersebut- saya sudah membuat peta hidup saya sampai lima puluh tahun ke depan (saat itu), dengan pendetailan setahun ke depan, lima tahun ke depan, sepuluh tahun, dan seterusnya sampai lima puluh tahun. Kedua, terkadang memang ada orang yang menganut prinsip “biarkan semuanya mengalir sesuai dengan arus”, dan beberapa orang juga bisa sukses dengan prinsip tersebut, jadi memang tidak bisa juga dipaksakan untuk memaksa orang membuat peta hidupnya.

Lalu, kemudian saya menjawab SMS terakhir dari dia, dengan mengatakan yang saya sebutkan di atas bahwa saya sudah membuat peta hidup sejak membaca buku tersebut dan sudah lima puluh tahun dan selama saya menjalankan peta kehidupan yang saya buat beberapa ada yang sesuai dengan peta dan beberapa ada yang mesti saya ubah petanya. Ya, syukurilah saja.

Contohnya, ya, saya kembali teringat memang saya membuat peta itu kelas dua semester ganjil karena saya menulis di peta hidup saya bahwa saya akan masuk IPA dan melanjutkan cita-cita ayah saya dengan saya akan berkuliah di jurusan Farmasi, setelah saya menolak masuk Sekolah Menengah Analis Kima Bogor, tetapi apa daya nilai Kimia saya di raport semester ganjil sudah merah tepatnya lima dan tentu saja ini mengubur harapan saya untuk masuk IPA karena syarat untuk ke IPA adalah tidak ada nilai merah di raport, betapa ayah saya sedih ketika itu dan awalnya menyalahkan kegiatan-kegiatan yang saya jalankan tetapi dengan penjelasan bahwa kegiatan saya tidak bisa disalahkan tetapi saya pribadi yang salah yang tidak bisa mengatur waktu dan ada sebuah alasan nonteknis yang saya tidak bisa ceritakan ke ayah maupun saya tulis disini. Tentu saja ini membuat saya pun harus mengubah peta hidup saya, tentu saja dalam hal-hal yang detail saja. Itu pengalaman saya pribadi, kemudian, coba kita baca kembali novel “Ayat-Ayat Cinta” dimana Fahri punya peta hidup yang sangat baik bagaimana dia akan S2 dan kemudian S3 tetapi hancur berantakan seketika saat dia dipenjara, kartu mahasiswa S2nya di Al-Azhar diambil dan status kemahasiswaannya di Al-Azhar dicabut, memang tidak diceritakan lebih lanjut bagaimana Fahri ke depan tetapi saya yakin jika dilanjutkan peta hidupnya akan dia rubah toh, ketika dia beristrikan Aisha pun dia merubah(mengkompromikan?) peta hidupnya demi sang istri. Kemudian, izinkan saya bercerita tentang seseorang yang lumpuh total, yang ternyata seorang lumpuh ini mampu menggentarkan Amerika Serikat dan Israel yang punya banyak nuklir, seorang lumpuh yang menggelorakan perlawanan terhadap kezaliman dan pemberontakan terhadap ketidak adilan.

Ahmad Yassin, namanya, beliau awalnya tidak lumpuh sampai usia 12 tahun ketika beliau bergulat dengan temannya kemudian dia terjatuh dan terluka, kepada orang tuanya dia berkata hanya terpeleset, kemudian setelah beberapa minggu ternyata luka tersebut lebih dari sekedar luka karena mengenai sistem saraf beliau hingga akhirnya dia lumpuh di leher, kaki dan tangannya, dia hanya bisa berbicara setelah itu. Sebelum dia lumpuh, dia pernah ditanya apa cita-citanya dan mimpinya ? dia bilang akan belajar teknik dan menjadi insinyur agar bisa membuat rumah dengan pertahanan terbaik hingga nuklir Israel tidak bisa menembus rumah-rumah di Palestina, hingga bisa melindungi para pemuda yang membuat senjata perlawanan dan melindungi anak-anak dan ibu-ibu yang sedang beraktifitas.

Tapi siapa yang menyangka bahwa dia akan lumpuh ? bisa dipastikan dia tidak bisa meneruskan cita-citanya untuk menjadi insinyur, dia kemudian belajar bahasa Arab dan Islam, hingga dia menjadi guru bahasa Arab dan Tarbiyah Islamiyah di Gaza dan sembari mengajar dia berkhutbah dan berceramah di masjid-masjid di Gaza. Hingga kemudian dia mendirikan Harokah Al Muqowamah Al Islamiyah(Islamic Resistance Movement), yg didalamnya terdapat insinyur-insinyur muda Palestina, dan tentu saja dari namanya ini adalah gerakan pertahanan, bukan lagi sekedar pertahanan rumah yang defensif tapi pertahanan manusia yang ofensif.

Cita-cita Syekh Ahmad Yassin memang tidak terwujud untuk menjadi seorang insinyur yang membuat sebuah bangunan pertahanan yang baik tetapi justru diberikan lebih dari sekedar itu dan berkatnyalah banyak insinyur-insinyur muda Palestina yang bekerja melawan Israel.

Cita-cita dan mimpi boleh berubah, boleh tidak terwujud, jadi, tidak usahlah terlalu menyesali apa yang sudah terjadi. Tidak masuk jurusan favorit misalnya, gagal dalam bisnis contohnya,maka, berpikiran positif sajalah bahwa Tuhan akan memberikan yang lebih baik, jika kita mau terus berusaha, sehingga yang namanya Syubhat Mimpi tidak perlu dialami. Syubhat mimpi ada dua, yang pertama adalah berangan-angan atau berkahayalan, karena garis batas antara mimpi dan angan-angan terlalu tipis, setipis bulu kaki, karena itulah ia menjadi syubhat. Yang kedua, terlalu bernafsu mengejar mimpi hingga jika tidak berhasil mendapatkan mimpi tersebut, emosi jiwa langsung tidak stabil atau terus-menerus mengejar mimpi hingga melupakan prinsip-prinsip yang dianut, melupakan hal-hal yang sudah dicapai. Betapa banyak manusia yang mengejar mimpi yang sebenarnya bukan mimpi tersebut hingga keluarganya pun dilupakan hingga agamanya pun dijual.

Begitulah, sejarah telah mencatat siapa yang benar-benar bermimpi serta bercita-cita secara wajar dan siapa yang akhirnya memakan syubhat mimpi.

Jakarta, 1 Juli 2009, 21:45.

by johan rio pamungkas

SANG PEMENANG

Suatu ketika ada seorang anak yang mengikuti perlombaan balap mobil mainan. Dari banyaknya peserta, hanya mobil anak itulah yang kurang sempurna.

Yah, memang mobil itu tidak terlihat menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil lainnya.

Tibalah saat hari final perlombaan. Setiap anak bersiap di garis start. Namun, sebelum lomaba dimulai, anak itu berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang diangkat terbuka, ia berkata "Ya, aku siap!"

Dorrrr! perlomabaanpun dimulai, semua peserta mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil meluncur dengan cepat.

Setelah beberapa menit, tali lintasan telah terlambai tanda telah diputuskan pemenangnya. Akhirnya, anak itu yang menjadi pemenangnya.

Sebelum menyerahkan piala kemenangan, panitiapun berkata, " Hai jagoan, tadi sebelum pertandingan, apakah kamu berdoa agar diberikan kemenangan dalam perlomabaan ini?". Anak itu terdiam dan berkata, " Bukan Pak, bukan itu yang aku minta".

Ia lalu melanjutkan, " Sepertinya tidak adil untuk meminta kepada Alloh untuk menolongmu mengalahkan orang lain... Aku hanya mohon kepada Alloh supaya aku tidak menangis seandainya aku kalah".

dikutip dari buletin hamsah

by: santi komariah

Islamic Course Center (ICC)

Disini kami berkumpul...
Dalam wadah ICC...
Kami belajar,
Membaca menulis,
Semoga Allah berkati..
Kami belajar,
Membaca menulis,
Semoga Allah berkati.

Ilmu itu bagai cahaya...
Menerang hati yang luka...
Mesti dicari,
Walau dimana,
Kuatkan azzam 'tuk berusaha..
Mesti dicari,
Walau dimana,
Kuatkan azzam 'tuk berusaha.

Join us in ICC!
Sebuah bimbingan belajar berorientasi berbakti kepada masyarakat (sosial) yang menyediakan untuk tingkat SD (dari kelas 4), SMP, SMA, serta kejuruan. Dengan pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Akuntansi, dan Bahasa Inggris, serta ditambah lagi dengan mentoring insya Allah remaja Indonesia menjadi Cerdas dan Berakhlak sesuai moto kami.

Dalil menuntut ilmu

Bagi kamu-kamu, adik-adik kamu, kakak-kakak kamu, tetangga-tetangga kamu, dll yang masih ragu-ragu bergabung dengan ICC, berikut adalah tuntunan dari Tuhan dan Rasulmu tentang keutamaan menuntut ilmu dan mengamalkannya...

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah SWT melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah SWT menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS 4 : 95)

“Allah akan meninggikan (mengangkat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” (QS 58 : 11)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar” (QS 85 : 11)

”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim lelaki dan Muslim perempuan” (HR Ibnu Majah)

"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga" (HR Bukhari dan Muslim)

“Pergi mengajarkan satu bab ilmu lebih baik daripada shalat seribu raka'at” (HR Ibnu Majah tentang keutamaan mengajarkan ilmu)

Anas ra berkata: Rasulullah SAW berdoa, "Ya Allah, manfaatkanlah untuk diriku apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku, ajarilah aku dengan apa yang bermanfaat bagiku, dan limpahkanlah rizqi ilmu yang bermanfaat bagiku" (HR Nasai dan Hakim)

“Seorang alim (berpengetahuan) yang tidak beramal (mengamalkan ilmunya) seperti lampu yang membakar dirinya sendiri” (HR Ad-Dailami)

“Satu orang berilmu lebih ditakuti syaithan daripada seribu ‘abid (ahli ibadah)” (HR Tirmidzi)

“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu dirahasiakannya maka dia akan datang pada hari kiamat dengan kendali di mulutnya dari api neraka” (HR. Abu Daud)

“Orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat ialah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya” (HR Al-Baihaqi)

Ayo Semangat! Jangan bermalas-malasan di rumah. Semoga Allah membalasmu dengan surga.

Peserta Teladan ICC semester 1 TP 2008/2009
Nining Dyah Puspitasari
Kelas : X
Asal Sekolah : SMAN 109

Edisi HUT RI ku

12 Agustus 2009 jam 20:19

Assalamualaikum... Teman-teman, pada kesempatan ini ICC menghadirkan sebuah cerita pendek (cerpen) yang berjudul "Sungai" karya Nugroho Notosusanto. Daripada facebook-an woro-wiri tidak jelas, lebih baik teman-teman menyisihkan sedikit waktu untuk membaca cerpen ini. Bagi yang sudah pernah membaca, cobalah untuk membaca sekali lagi. Dijamin deh 100%, teman-teman akan mendapatkan banyak hikmahnya dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Mumpung masih muda, gunakan pikiranmu untuk membaca cerpen ini dengan seksama...


Sungai
(Karya Nugroho Notosusanto)


Setiap kali menyeberangi sungai, Sersan Kasim merasakan sesuatu keharuan yang mendenyutkan jantungnya. Seolah-olah ia berpisah dengan sesuatu, sesuatu dalam hidupnya. Makin besar sungai itu, makin besar pula keharuan yang menggetarkan sanubarinya.

Kini, kembali ia akan menyeberangi sebuah sungai. Sekali ini bukan sungai kecil, melainkan salah satu sungai yang terbesar di Jawa Tengah, Sungai Serayu.

Sersan Kasim adalah Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali ke daerah operasinya di Jawa Barat. Tentara Belanda telah menduduki Yogya, persetujuan gencetan senjata telah dilanggar, dan Republik tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.

Jam satu malam cuaca gelap gulita dan murung, hujan turun selembut embun namun cukup membasahkan. Hati-hati Kasim memimpin anak buahnya menuruni tebing yang curam dan licin. Ia sendiri berjalan dengan sangat hati-hati, menggendong bayi pada panggulnya sebelah kiri. Dari bahu kanan bergantung sebuah sten. Hanya samar-samar matanya yang terlatih melihat orang yang berjalan di depannya. Untuk memudahkan penglihatan, tiap-tiap prajurit yng kurang baik penglihatannya, memasang sepotong cendawan yang berpijar pada punggung kawan yang berjalan di depannya.

Sepuluh bulan yang lalu, pada bulan Februari 1948, Sersan Kasim juga menyeberangi Sungai Serayu dengan kompinya. Tatkala itu mereka berjalan ke arah timur. Persetujuan Renville telah ditandatangani dan pasukan-pasukan TNI harus hijrah ke kantong-kantong dalam wilayah de facto Belanda. Banyak diantara bintara dan prajurit yng membawa serta anak istrinya.

Ketika itu Sersan Kasim telah setengah tahun menikah. Istrinya yang belia sudah lima bulan mengandung. Namun, ia memaksa mengikuti suaminya ke wilayah kekuasaan Republik. Pernah terpikir oleh Kasim untuk menitipkan istrinya kepada mertuanya di Pager Ageung. Tapi tidak sempat, lagipula Aminah tidak mau ditinggalkan. Ia bersitegang hendak ikut. Dan siapa yang dapat bertahan terhadap sifat keras kepala wanita yang sedang mengandung?

Dua bulan setelah mereka tiba di Yogya, Acep dilahirkan. Matanya hitam tajam, meskipun badannya sangat kecil, dan rambutnya lebat seperti hutan di Priangan. Tapi untuk melahirkan anaknya, Aminah telah menggunakan sisa-sisa tenaga rapuhnya yang terakhir. Ia meninggal sehari kemudian karena kepayahan. Acep dapat dipertahankan hidupnya berkat rawatan khusus para dokter dan juru rawat di rumah sakit tentara.

Kini Sersan Kasim berjalan kembali ke Jawa Barat. Kali ini jarak antara Yogya dan Priangan Timur harus mereka tempuh dengan berjalan. Tidak ada truk Belanda yang mengangkut, tidak ada kereta api Republik yang menjemput. Mereka berjalan kaki, menempuh jarak lebih dari 300 kilometer, turun lembah, naik gunung, menyeberangi sungai kecil dan besar.

Akhirnya mereka kembali di tepian Sungai Serayu, akan tetapi jauh kesebelah hulu, di kaki pegunungan daerah Banjarnegara. Kini tiada jembatan, tiada titian. Mereka harus terjun ke dalam air.

Perlahan-lahan Sersan Kasim menuruni tebing yang curam. Ia menggigil dilanda angin pegunungan dari sebelah lembah. Dengan cermat ia perbaiki letak selimut berlapis dua yang menutupi Acep dalam gendongan. Acep, biji matanya, harapan idamannya. Kemudian, dengan satu gerakan ia usap air hujan pada wajahnya sendiri. Ia menggigil lagi. Iring-iringan sekonyong-konyong berhenti. Prajurit di depannya juga menggigil. Mereka menggigil berdekat-dekatan.

Kemudian ada pesan dari depan.

“Kepala Regu, kumpul!” dibisikkan dari mulut ke mulut. Kasim berjalan ke muka. Komandan Peleton sudah menanti di depan Regu I. Mereka menerima instruksi mengenai penyeberangan.

Menurut intelligence, musuh menjaga tepian sana dengan kekuatan satu kompi. Sungai diawasi mulai bagian yang airnya setinggi perut. Karena itu pasukan akan menyeberangi lebih ke hilir. Ada kemungkinan air mencapai dada. Perintis telah menyiapkan tali untuk berpegangan.

”Ada pertanyaan?” tanya Komandan Peleton.

Tidak ada yang menyahut. Samar-samar Sersan Kasim melihat pandangan Komandan tertuju kepadanya.

”Bagaimana bayimu?” tanya Komandan.

”Tidur Pak,” jawab Kasim singkat.

”Kalau pikiranmu berubah, masih ada waktu untuk menitipkannya pada barisan keluarga.”

Kasim tak segera menjawab. Sebentar pikirannya melayang kepada para wanita dan kanak-kanak yang dititipkan kepada Pak Lurah dan penduduk Karangboga. Kalau situasi aman, mereka akan diseberangkan sedikit demi sedikit oleh rakyat. Mereka akan dijemput oleh satu regu di seberang sungai setelah diberitahu oleh kurir.

”Sersan Kasim tinggal. Lainnya bubar!” kata Komandan menembus kesepian. Kepala regu lainnya kembali kepada anak buahnya.

Lagi Kasim merasa pandangan mata Komandan tertuju kepadanya dan kepada anaknya. Kasim tahu apa arti pandangan itu. Ya, ia tahu sebenarnya Komandan ingin bertanya, apakah ia menyadari bahwa tangisan seorang bayi dapat membawa kebinasaan bagi lebih dari seluruh kompi. Bahwa bayinya, si Acep, dapat mmbahayakan jiwa lebih dari seratus orang prajurit. Itulah yang tersirat dalam pandangan Komandan.

Pandangan Komandan itu seolah-olah berkata, ”Ingatlah Kompi 3 batalyon B yang kehilangan 16 prajurit dan 10 keluarga, karena serangan mendadak oleh musuh. Hanya karena seorang bayi yang menangis. Tangis yang dengan cepat menular pada beberapa anak kecil lainnya”.

Samar-samar Sersan Kasim mendengar derau sungai di bawah. Dia bayangkan kesunyian malam yang aman dirobek-robek oleh letusan senjata. Dia bayangkan kompinya terjebak di tengah-tengah sungai, tak berdaya.

Tatkala itu Acep bergerak-gerak dalam gendongan bapaknya. Kasim merasa anaknya menyusup-nyusupkan kepala ke dadanya, ke ketiaknya, seakan-akan mencari perlindungan yang lebih aman. Rasa sayang membual keluar dan menyesakkan kerongkongan Kasim. Anakku yang tak sempat mengenal ibunya, pikirnya. Anakku yang disusui oleh botol. Dan kini dia harus dititipkan pada orang lain! Untuk berapa lama? Dan amankah dia dalam asuhan orang lain? Akan selamatkah dibawa orang asing dalam penyeberangan nanti? Anak lelaki titipan satu-satunya, pusat rasa yang sehalus-halusnya, peninggalan istri yang setia dan keras hati. Cucu yang akan dibawanya sebagai oleh-oleh untuk orang tuanya di Garut, untuk mertuanya di Pager Ageung, sebagai tanda mata anak dan menantu dari istrinya tercinta yang telah meninggal.

Sersan Kasim membelai anaknya yang dalam gendongan,

”Saya minta izin untuk membawanya,” katanya.

”Kau yakin dia tidak menangis?”

”Insya Allah, tidak.”

”Baik kalau begitu. Hati-hati saja.”

”Siap Pak. Terima kasih.”

Ketika giliran peletonnya untuk menyeberang, Kasim menggigil lebih keras lagi. Bukan hanya karena hujan tambah keras turun. Bukan hanya karena angin pegunungan yang menembus sela-sela rusuknya. Ia juga menggigil karena Acep mulai resah dalam gendongannya. Air hujan sudah merembes masuk mengenai kulitnya dan ia menggeliat-geliat kebasahan dan kedinginan.

Sersan Kasim mulai memegang tali yang terentang dari tepi ke tepi. Air membasahi kakinya, membasahi celananya, membasahi sebagian bajunya, menjilat-jilat gendongan anaknya. Ia mulai repot meninggikan anak dan senjatanya bersama-sama. Pada suatu saat ia terperosok ke dalam lubang pada alas sungai dan ia terhuyung-huyung dilanda arus yang deras dan dingin. Air mencapai dada, merendam anaknya. Dan tiba-tiba Acep menangis....

Acep menangis.

Melolong-lolong.

Merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke tebing. Suaranya tajam menyayat hati. Menyayat hati bapaknya, hingga sesak bagaikan tak dapat bernapas.

Di hulu sungai, sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Malam jadi terang-benderang. Seluruh kompi menahan napas. Masing-masing terpaku pada tempatnya. Peleton 1 di seberang sana. Peleton 3 di seberang sini, sedangkan Peleton 2 di tengah-tengah sungai. Di tengah-tengah Peleton 2 itulah Acep menangis pada dada bapaknya.

Tak ada orang yng mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi dalam beberapa menit, yang terasa seperti berjam-jam. Juga Sersan Kasim tidak sadar. Ia hanya tahu anaknya menangis, setiap saat musuh dapat menumpas mereka dengan senapan mesin dan mortir di bawah peluru cahaya kembang api yang telah mereka tembakkan. Seluruh kompi memandang kepada dia, bergantung kepada dia. Nasib seluruh kompi tertimpa pada bahunya.

Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaat lenyap sama sekali.

Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang jantungnya berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai mati, dan kelam mulai menyelimuti kembali suasana di lembah sungai itu. Kini yang terdengar hanya derau air yang tak putus-putusnya ditingkahi oleh kwek-kwek katak di tepian. Beberapa menit kemudian kompi menghela napas lega dan selamat tiba di seberang.

Keesokan harinya, pada waktu fajar merekah, kompi menunda perjalanannya sementara waktu, meskipun masih terlalu dekat kepada kedudukan musuh. Mereka berhenti pada sebuah desa. Dengan bersama Pak Lurah dan banyak diantara penduduk, mereka berkumpul di pinggir desa. Di sana, dalam upacara yang singkat, Acep diturunkan ke liang kubur. Kemudian semua mata tertuju kepada sosok tubuh Sersan Kasim yang berjongkok di hadapan pusara kecil yng baru ditimbun. Kepalanya terkulai, menunduk.

Akhirnya, ia berdiri dan memandang ragu-ragu sekeliling. Kesedihan yang dalam, jelas terukir pada wajahnya. Baju seragamnya tampak kuyup, hingga lehernya. Komandan kompi tampil ke muka. Ia menghampiri Kasim. Ia menggenggam tangan kanan sersannya dalam kedua belah tangan. Matanya merah, tidak hanya kurang tidur. Dalam angan-angannya terbayang Nabi Ibrahim, yang siap mengorbankan putranya. Tapi ia tak berkata apa-apa.

Setengah jam kemudian, kompi melanjutkan perjalanannya pada punggung bukit yng sejajar dengan tebing sungai. Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembap oleh hujan semalam. Ditengah-tngah barisannya Sersan Kasim berjalan dengan sten tergantung sunyi pada bahunya. Jauh di bawah, di lembah yang dalam, Sungai Serayu sayup-sayup menderau. Keharuan yang luar bisa kini meluap-luap dalam dada Sersan Kasim, membanjir, menghanyutkan. Dan ia berjalan terus.

Dan di bawah, sungai mengalir terus.


(Sumber: Kumpulan Cerpen Rasa Sayange, 1998)

***


"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
(QS 30 : 21)
qTiya Aryanti
Peserta ICC kelas IX SMPN 166 Jakarta
Semester II TP 2008/2009

Happy Birthday to Restu Pujiana

27 Agustus 2009 jam 23:21
"Hmm... Soal-soalnya boleh juga, nambah wawasan, lebih asyik, dan lebih menantang daripada soal-soal di sekolah. Terima kasih kakak atas bimbingannya."
(Testimonial Restu Pujiana ketika menjadi peserta ICC kelas XII TP 2007/2008)

Yups, siapa yang tidak kenal Restu Pujiana??? Bagi adik-adik khususnya dari SMKN 8 Jakarta pasti pada tahu, minimal pernah mendengar namanya. Ya, beliau alumni SMKN 8 yang sekarang seorang mahasiswi Universitas NegeriJakarta (UNJ) jurusan Pendidikan Akuntansi dahulunya adalah peserta ICC angkatan pertama (TP 2007/2008). Datang pada akhir pekan ke ICC adalah prioritas utamanya. Tidak heran, beberapa prestasi-prestasi tingkat sekolah diraihnya. Demi membalas budi baik dan sebagai ucapan terima kasih kepada ICC, ia ikut tes untuk menjadi pengajar ICC pada awal bulan Februari lalu. Akhirnya seperti tanpa hambatan, ia dapat lolos dan langsung diangkat menjadi staf pengajar mulai saat itu. Tapi bayangkan... baru sebulan menjadi pengajar ICC, ia malah berhasil meraih penghargaan "Pengajar Terbaik ICC bulan Februari 2009 (Teacher of The Months for February 2009)"! Berkat dedikasinya dan kesungguhannya yang luar biasa untuk ikut membantu ICC, sekarang beliau diangkat pula sebagai salah seorang staf Kurikulum yang bertanggung jawab dalam upgrading akademis peserta ICC (mungkin sekarang beliau sedang berpikir agar lulusan ICC minimal kayak Restu kali ya...). Dan, kakak pengajar ICC yang satu ini beberapa hari yang lalu berulang tahun yang ke-19. Semoga Allah memberkahinya dan diberi kekuatan untuk terus berjuang demi kemajuan adik-adik muda harapan bangsa melalui wadah ICC.